Makalah Dasar-Dasar MIPA " Masalah Tujuan Pendidikan"
Diposting oleh
Unknown
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pendidikan nasional telah
diatur dan didefinisikan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 tahun
2003. Dalam UU tersebut pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pendidikan agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selain itu, dijelaskan
pulabahwa Pendidikan nasional
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Namun sampai saat ini tujuan
pendidikan nasional tersebut belum tercapai, salah satunya aspek kemandirian.
Berdasarkan data survey tenaga kerja nasional 2009 yang dikeluarkan Bappenas,
dari 21,2 juta masyarakat Indonesia yang masuk dalam angkatan kerja, sebanyak
4,1 juta atau 22,2 % menganggur. Yang lebih mengejutkan lagi pengangguran
didominasi oleh lulusan diploma dan perguruan tinggi dengan kisaran diatas 2
juta orang. Hal ini mencerminkan gagalnya sistem pendidikan kita dalam
menciptakan individu yang mandiri sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai tujuan pendidikan di Indonesia dan problematika nya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Apa tujuan pendidikan?
2.
Masalah apa yang menyangkut tujuan pendidikan
Indonesia?
3.
Apa penyebab belum tercapainya tujuan pendidikan
nasional di Indonesia?
C.
TUJUAN
·
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui tujuan pendidikan.
2.
Untuk mengetahui masalah apa yang menyangkut tujuan
pendidikan nasional di Indonesia.
3.
Untuk mengetahui penyebab belum tercapainya tujuan
pendidikan nasional di Indonesia.
·
Manfaat
Dari penulisan ini diharapkan mendatangkan manfaat berupa penambahan
pengetahuan serta wawasan penulis kepada pembaca tentang keadaan pendidikan
sekarang ini sehingga kita dapat mencari solusinya secara bersama agar
pendidikan di masa yang akan dapat meningkat baik dari segi kualitas maupun
kuantitas yang diberikan.
BAB II
LANDASAN TEORI
Menurut sejarah bangsa
Yunani, tujuan pendidikannya ialah ketentraman.Sedangkan menurut Islam, tujuan
pendidikan ialah membentuk manusia supayasehat, cerdas, patuh, dan tunduk
kepada perintah Tuhan serta menjauhi larangan-larangan-Nya (Ahmadi,1991:99).
Tujuan pendidikan nasional
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Tujuan Pendidikan Nasional
Dalam UUD 1945 (Versi Amandemen)
·
Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
·
Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, “Pemerintah memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”
Tujuan
Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang No.20, Tahun 2003
“Jabaran UUD 1945
tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3
menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Tujuan Pendidikan Menurut UNESCO
Dalam
upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa, tidak ada cara lain kecuali melalui
peningkatan mutu pendidikan. Berangkat dari pemikiran itu, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United Nations, Educational,
Scientific and Cultural Organization) mencanangkan empat pilar pendidikan baik
untuk masa sekarang maupun masa depan, yakni: (1) learning to Know, (2)
learning to do (3) learning to be, dan (4) learning to live together. Dimana
keempat pilar pendidikan tersebut menggabungkan tujuan-tujuan IQ, EQ dan
SQ.
BAB III
PEMBAHASAN
Pendidikan merupakan aspek
pokok bagi kehidupan suatu bangsa. Kondisi bangsa di masa datang, sangat
dipengaruhi oleh paradigma berfikir masyarakatnya yang terbentuk melalui suatu
proses pendidikan. Proses pendidikan yang terarah akan membawa bangsa ini
menuju peradaban yang lebih baik. Sebaliknya proses pendidikan yang tidak
terarah, hanya akan menyita waktu, tenaga, serta dana tanpa ada hasil. Dengan
demikian sistem pendidikan sebagai implementasi pendidikan nasional sangat
menentukan maju mundurnya bangsa ini.
Pendidikan nasional telah diatur dan didefinisikan
dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 tahun
2003. Dalam UU tersebut pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pendidikan agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Selain itu, dijelaskan pulabahwa Pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Namun sampai
saat ini tujuan pendidikan nasional tersebut belum tercapai, salah satunya
aspek kemandirian. Berdasarkan data survey tenaga kerja nasional 2009 yang
dikeluarkan Bappenas, dari 21,2 juta masyarakat Indonesia yang masuk dalam
angkatan kerja, sebanyak 4,1 juta atau 22,2 % menganggur. Yang lebih
mengejutkan lagi pengangguran didominasi oleh lulusan diploma dan perguruan
tinggi dengan kisaran diatas 2 juta orang. Hal ini mencerminkan gagalnya sistem
pendidikan kita dalam menciptakan individu yang mandiri sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional.
Tujuan
Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dengan adanya pendidikan, maka
akan timbul dalam diri seseorang untuk berlomba-lomba dan memotivasi diri
kita untuk lebih baik dalam segala aspek kehidupan. Pendidikan merupakan
salah satu syarat untuk lebih memajukan pemrintah ini, maka usahakan
pendidikan mulai dari tingkat SD sampai pendidikan di tingkat Universitas.
Pada intinya pendidikan itu
bertujuan untuk membentuk karakter seseorang yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi disini pendidikan hanya menekankan pada
intelektual saja, dengan bukti bahwa adanya UN sebagai tolak ukur keberhasilan
pendidikan tanpa melihat proses pembentukan karakter dan budi pekerti anak. Lihat saja
kualitas pendidikan kita hanya diukur dari ijazah yang kita dapat. Padahal
sekarang ini banyak ijazah yang dijual dengan mudahnya dan banyak pula yang
membelinya (baik dari masyarakat ataupun pejabat-pejabat).
Salah
satu faktor yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan pendidikan di Indonesia
ini adalah kesalahan pada sistem pendidikan. Disadari atau tidak, sistem pendidikan di negara
kita masih mengedepankan segi kognitif. Penghargaan bagi anak yang pintar di
bidang matematika lebih tinggi daripada anak yang berprestasi di bidang lain
seperti olahraga dan seni. Perbedaan perlakuan ini, akan menyebabkan sang anak
merasa bahwa potensinya kurang dihargai. Sehingga ia mulai mencoba bidang yang
sebetulnya kurang ia minati. Dengan berjalannya waktu, maka potensi dan bakat
yang ada pada dirinya tidak terasah dan tidak akan berguna.
Pelajaran yang terus
menerus melatih kognitif ini, diperparah dengan penanaman soft skills yang
rendah. Kurangnya soft skills, meyebabkan mayoritas lulusan pendidikan kita
tidak dapat bersaing dengan lulusan pendidikan luar negeri. Menurut Sudino
dalam Latief (2010), Berdasarkan kemampuan teknis sesuai bidang akademis
masing-masing, lulusan perguruan tinggi Indonesia memang tidak kalah, bahkan
berani diadu. Namun, justru hal-hal nonteknis, seperti kemampuan berbicara di
depan orang banyak, rasa percaya diri, dan interaksi terhadap perubahan dengan
cepat, lulusan kita masih payah.
Sistem pendidikan kita juga
cenderung menyamaratakan kemampuan anak. Padahal setiap anak memiliki daya
serap yang berbeda. Selain itu, setiap individu memiliki tipe tersendiri dalam
memahami sesuatu. Ada yang lebih cepat dengan mendengar, melihat, dan melakukan
sendiri. Jika terus menerus disamaratakan, akan timbul rasa kurang percaya diri
pada anak yang tidak cocok dengan sistem pengajaran guru. Bahkan sang anak bisa
menganggap dirinya bodoh.
Sistem kelulusan melalui
Ujian Nasional (UN) juga sangat kontroversial. Banyak siswa berprestasi yang
tidak lulus UN. Seperti kasus yang baru saja terjadi pada tahun 2009 di
Sulawesi, ketika 2 siswa yang berhasil mengharumkan nama sekolahnya di tingkat
provinsi dalam bidang pencak silat dan voli, gagal lulus UN. Sedangkan
anak-anak yang dalam kesehariannya biasa-biasa saja, tidak jarang yang
mendapatkan nilai UN yang tinggi. Hal ini mencerminkan bahwa UN tidak bisa
menjadi tolak ukur bagi kelulusan peserta didik.
Selain itu dengan sistem
UN, terkesan terjadi robotisasi pendidikan. Para siswa terbiasa mengejar
nilai-nilai semu. Pembelajaran yang dilakukanpun akhirnya hanya mengarah untuk
meyelesaikan soal. Tidak ada proses belajar yang menyebabkan siswa berfikir
kreatif dan aktif. Siswa menuruti apa saja yang diberikan oleh guru. Bahkan
guru yang mencoba tampil beda untuk mendesain pembelajaran yang lebih
inovatif dan kreatif tidak mendapatkan ruang. Melalui instruksinya, para
pengambil kebijakan memosisikan guru sebagai “tukang sulap” yang harus
menjadikan para siswa didik sebagai penghafal kelas satu yang bisa dengan jitu
menjawab soal-soal PG dalam UN.
Jika hal ini terus
berlanjut, bukan mustahil jika lulusan pendidikan kita akan mengalami
pengerdilan kecerdasan. Cara berpikir pragmatis akan menjadi pilihan gaya
hidup sehingga gagal mengapresiasi budaya proses dalam menggapai cita-cita dan
harapan. Yang lebih menyedihkan, fakta-fakta nilai UN selama ini menunjukkan,
anak-anak berotak cemerlang seringkali terkebiri oleh anak-anak berotak
pas-pasan. Siswa yang dalam kesehariannya (nyaris) tak menunjukkan prestasi
mengagumkan, justru memperoleh nilai yang jauh lebih baik dibandingkan siswa
berprestasi menonjol dan berotak brilian (Tuhusetya, 2010).
Selain fakta-fakta
tersebut, kekacauan sistem pendidikan Indonesia tidak terlepas dari sering
bergantinya kurikulum. Terkadang tujuan dari satu kurikulum belum tercapai,
sudah ada kurikulum pengganti yang lain. Hal ini terjadi seiring dengan
bergantinya presiden dan menteri. Padahal pendidikan bukanlah milik presiden
beserta jajarannya. Harus ada sebuah keberlanjutan dari program menteri
terdahulu dengan menteri yang akan menjabat. Sehingga tercapai sebuah
kesinambungan antar kepengurusan.
·
Upaya Pemerintah dalam
meningkatkan mutu Pendidikan
Meskipun demikian, tidak
dapat dipungkiri bahwa pemerintah telah berusaha memberikan yang terbaik
melalui sistem pendidikan yang disusun. Kurikulum yang dibuat, dimaksudkan
untuk mendapatkan formula jitu agar dapat menciptakan SDM yang berkualitas.
Program UN pun dibuat untuk
mendapatkan lulusan dengan tingkat intelektualitas yang baik. Program ini
diharapkan dapat menjadi evaluasi dalam proses belajar mengajar di kelas.
Sehingga ada peningkatan yang dilakukan baik dari pihak pemerintah, maupun dari
pihak sekolah untuk menciptakan individu berkualitas.
Namun niat-niat baik
tersebut memiliki banyak kekurangan. Pergantian kurikulum seringkali tidak
melihat kesesuaian di lapangan. Hal ini tidak diimbangi dengan penyosialisasian
yang baik. Apa yang dimaksud oleh pemerintah tidak tersampaikan dengan baik
kepada pendidik. Bahkan banyak guru yang berpendapat, bahwa pembuat kebijakan
tidak merasakan langsung proses pendidikan di kelas. Sehingga perumusan yang
dilakukan tidak dapat dilaksanakan. Selain itu, kelulusan dengan UN hanya
melihat aspek kognitif. UN terkesan mengesampingkan anak-anak yang kurang
berpotensi dalam bidang akademik. Lebih parah lagi, UN dijadikan sarana untuk
mendongkrak citra sekolah.
Imbas negatif yang muncul
dari atmosfer pendidikan yang salah urus semacam itu adalah merebaknya
kecurangan massal dalam pelaksanaan UN dari tahun ke tahun dalam upaya memburu
citra sekolah. Agar mendapatkan legitimasi, pengakuan, dan citra bagus dari
atasan dan masyarakat, sekolah cenderung menghalalkan segala cara untuk
mendongkrak jumlah lulusan dan rata-rata nilai UN; entah dengan membocorkan
kunci jawaban, bekerjasama dengan pengawas UN, atau cara-cara curang yang
seharusnya tabu dilakukan oleh sebuah institusi pendidikan.
Selain itu, tidak
tercapainya tujuan pendidikan nasional juga dipengaruhi kegagalan sistem
pendidikan kita dalam mengembangkan potensi peserta didik. Sistem pendidikan
kita tidak memberikan ruang bagi anak untuk mengembangkan potensi dan hobinya.
Banyak bakat anak-anak yang tidak dapat tersalurkan sehingga bakat tersebut
mengendap.
BAB IV
KESIMPULAN
Bagaimanapun juga, berhasil
atau tidaknya sebuah sistem pendidikan harus berdasarkan pada tolak ukur yang
jelas. Aspek pertimbangan yang baik tentunya adalah tujuan pendidikan nasional
itu sendiri yang telah tertuang dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003. Dimana
ada aspek kemandirian dan keterampilan di dalamnya. Dengan demikian sistem
pendidikan yang baik, harus mampu menciptakan individu yang mandiri serta
terampil.
Dengan demikian tujuan
tersebut belum mampu dicapai sistem pendidikan kita. Hal ini tercermin dari
fakta yang telah saya paparkan. Masalah ini harus ditanggapi dengan serius.
Karena akan muncul paradigma bahwa proses pendidikan hanya akan membuang waktu
dan dana tanpa ada hasil. Jika terus berlarut, akan ada banyak pihak yang tidak
percaya terhadap sistem pendidikan yang dibuat pemerintah.
Dari uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa belum tercapainya tujuan pendidikan bangsa ini disebabkan
oleh pelaksanaan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak memenuhi definisi
pendidikan dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 mengenai pengembangan potensi
diri serta keterampilan yang dibutuhkan peserta didik. Masalah ini harus segera
dituntaskan untuk kebaikan bangsa ini kedepannya. Oleh karena itu, dibutuhkan
pendidikan alternatif yang kreatif agar mampu melaksanakan pendidikan sesuai
dengan cita-cita pendidikan nasional. Sehingga pendidikan bangsa ini dapat
mencetak generasi-generasi berkualitas yang dapat memajukan bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu
Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta
Undang-Undang No.20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Langganan:
Postingan (Atom)